Sebelum
kita membahas tentang kebudayaan Ruwatan Rambut Gembel, akan lebih baik jika kita
membahas mengenai latar belakang diadakannya Ruwatan Rambut Gembel. Sebuah fenomena
unik di dataran tinggi Dieng yang tidak di temukan di daerah lain di Indonesia.
Sebuah Legenda yang menjadi historis di masyarakat pegunungan tinggi Dieng,
anak Gembel (Bajang) hingga kini masih menjadi misteri tentang awal mula
keberadaannya.
Bagi
penduduk di lereng gunung Dieng dan gunung Sindoro mungkin sudah tidak menjadi
hal yang asing lagi di mata masyarakat. Rambut gembel tumbuh secara alami hanya
pada anak-anak. Meski tidak terbukti secara medis, tapi biasanya rambut gembel
tersebut muncul disertai demam tinggi, mengigau dalam tidur. Gejala ini baru
berhenti ketika rambut anak tersebut kusut dan menyatu.
Namun
dewasa ini anak berambut Gembel atau anak bajang kian populer bagi sebagian
orang yang baru melihat ketika berkunjung ke dataran tinggi Dieng. Anak-anak
kecil yang berusia satu hingga tujuh tahun memiliki keunikan pada rambutnya.
Cerita yang beredar di penduduk setempat ternyata anak yang mempunyai rambut
gembel bukan menjadi sesuatu yang aneh namun justru mendapat perlakuan yang
istimewa, penuh perhatian dan kasih sayang.
Sebuah tradisi turun
temurun di sekitar lereng pegunungan dieng dan sindoro masih berlangsung hingga
sekarang. Acara pencukuran atau ruwatan untuk anak-anak yang mengalami kelainan
pada rambutnya yaitu gembel, yang mana rambut gembel di anggap sebagai titipan
yang harus di kembalikan kepada sang pemiliknya.
Ritual
Ruwatan Rambut Gembel adalah peninggalan leluhur yang hingga sekarang masih
menjadi tradisi turun-temurun di Dataran Tinggi Dieng. Berdasarkan mitos,
gembel dianggap sebagai bala (petaka) sehingga anak yang telah dipangkas rambut
gembelnya akan menjadi anak baik yang panjang umur dan banyak rejeki.
Sebaliknya, jika tidak dicukur ia akan menjadi anak nakal.
Budaya
pencukuran rambut gembel yang di lakukan di perkampungan memang cukup sederhana
sekali misal ketika si anak sudah ingin di cukur dan meminta hadiah kepada
orang tua atau saudara maka rambut tersebut bisa tumbuh normal kembali. Dan
rangkaian ruwatan yang di awali dengan memberikan permintaan si anak dan
melakukan syukuran, kemudian melarungkan rambut gembel tersebut ke aliran
sungai yang mengalir.
Seperti
kebiasaan yang ada di tengah -tengah masyarakat dieng apabila ada dari seorang
anak gembel yang akan di cukur, tetangga di sekitar rumah juga di undang
sebagai saksi ruwatan itu, tetangga yang di undang juga berkewajiban memakai
uang koin (receh) yang nantinya akan di berikan kepada si anak tersebut,
kemudian si anak yang sudah di potong rambutnya akan mengelilingi para tamu
undangan sambil membawa piring atau mangkuk yang akan di isi oleh para tamu.
setelah prosesi selesai maka acara penutup dengan do’a dan makan bersama (kenduri).
Seiring
dengan kemajuan jaman bahwa anak berambut gembel menjadi sebuah legenda di
dataran tinggi dieng. Sehingga kelompok-kelompok sadar wisata di dataran tinggi
dieng mengangkat tradisi ruwat rambut gembel untuk dalam sebuah acara tahunan
dengan acara intinya yaitu pencukuran rambut gembel secara kolosal (pekan
budaya) atau event Dieng Culture Festival (DCF).
Dalam event
tersebut acara ruwat rambut gembel di kemas apik melalui beberapa tahap prosesi
seperti napak tilas, arak-arakan, jamasan, pencukuran, ngalap berkah, dan
terakhir pelarungan. Acara Dieng Culture Festival juga menjadi serbuan
wisatawan yang hendak berkunjung ke pegunungan dieng untuk menyaksikan langsung
proses ruwat rambut gembel tersebut.
Prosesi
potong rambut gembel dilakukan oleh Tetua adat dengan dibantu oleh tokoh
masyarakat setempat, yakni para pejabat kota setempat, dan didampingi oleh
orang tua masing-masing. Kemudian, setelah pencukuran selesai, rambut dijadikan
satu dengan jajanan pasar, kembang telon (bunga tiga warna), lalu dilarung ke
sungai Serayu, yang akan mengalir ke Laut Selatan. Acara diakhiri dengan
pembagian hasil bumi oleh masyarakat sekitar.